Menyelami Budaya Kuansing: Warisan Lokal Yang Mendunia

KUANSING (REPORTASEKINI.COM)-Kuantan Singingi atau dikenal dengan sebutan Kuansing, sebuah kabupaten di Provinsi Riau, tak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga kekayaan budayanya yang telah mendunia. Berbagai tradisi lokal seperti Pacu Jalur, Perahu Baganduang, hingga Randai Kuantan menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya daerah mampu menjangkau pentas global.

Salah satu ikon budaya paling dikenal dari Kuansing adalah Pacu Jalur, sebuah perlombaan perahu panjang tradisional yang digelar di Sungai Kuantan. Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-17 dan berkembang dari alat transportasi sungai menjadi simbol solidaritas serta kebanggaan masyarakat Kuantan. Setiap perahu dapat diisi hingga 60 orang pendayung, yang berlatih selama berbulan-bulan demi memperebutkan juara dalam Festival Pacu Jalur di Tepian Narosa, Teluk Kuantan. Bahkan, tradisi ini telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2014.

Selain Pacu Jalur, Perahu Baganduang menjadi atraksi budaya lain yang tak kalah unik. Tradisi ini menampilkan dua perahu yang dirangkai menjadi satu dan dihias secara meriah menggunakan daun kelapa, bendera, hingga ornamen adat. Perahu Baganduang biasanya digelar saat Idulfitri di Kecamatan Kuantan Mudik, menggambarkan semangat gotong royong dan keindahan simbolik dari budaya agraris Kuansing.

Tak hanya dalam bentuk fisik, budaya Kuansing juga hidup melalui seni pertunjukan. Randai Kuantan, sebuah seni teater rakyat yang memadukan musik, tari, dan drama, terus dipertahankan oleh masyarakat. Randai tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga media pendidikan moral dan sejarah, dengan lakon-lakon yang mengangkat kisah kepahlawanan hingga perjuangan melawan penjajah. Randai bahkan pernah tampil di beberapa negara Asia Tenggara sebagai representasi budaya Indonesia.

Budaya lisan juga tetap lestari di Kuansing. Seni Kayat, berupa syair atau pantun berirama, menjadi bagian dari tradisi dakwah dan pendidikan Islam. Sementara itu, bahasa Kuantan yang merupakan cabang dari rumpun bahasa Melayu-Minangkabau tetap digunakan dalam keseharian, terutama dalam upacara adat dan perhelatan budaya.

Di sisi spiritual, Kuansing memiliki situs penting berupa Makam Datuk Shaykh al-Azhar di Pasar Taluk, yang merupakan tokoh penyebar tarekat Syattariyah pada abad ke-18. Lokasi ini menjadi pusat ziarah yang menghubungkan dimensi spiritual masyarakat dengan sejarah masuknya Islam di kawasan tersebut.

Menyatunya budaya dan alam menjadi daya tarik lain yang membedakan Kuansing. Kabupaten ini terletak di antara dataran rendah Melayu dan perbukitan Minangkabau, yang menciptakan harmoni antara dua budaya besar. Dilengkapi panorama sungai, bukit, dan air terjun, Kuansing berpotensi besar dikembangkan sebagai destinasi ekowisata berbasis budaya.

Pengamat budaya Melayu Riau, Dr. Amiruddin Harahap, menyebut bahwa budaya Kuansing adalah “warisan hidup” yang menunjukkan bagaimana masyarakat lokal mampu menjaga nilai-nilai kolektif sambil tetap terbuka pada modernitas. “Kunci pelestarian budaya di Kuansing adalah partisipasi masyarakat. Mereka bukan hanya penonton, tapi pelaku utama,” ujarnya.

Kini, dengan dukungan pemerintah daerah dan komunitas budaya, Kuansing terus mengembangkan diplomasi budaya melalui festival tahunan dan pertunjukan internasional. Dari tepian sungai yang tenang, denyut budaya Kuansing telah menggema hingga dunia luar.

 

 

 

Penulis Artikel :

1. Neysa Fadillah

2. ⁠Rismalia Aminatus Sholikhah

3. ⁠Septa Qoroni Putra

CO AUTOR : Dr. Nurmalinda S.Kar., M.Pd ([email protected].)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *