Oleh: Sarwan Kelana As-Samsi
Perayaan Idul Adha selalu menjadi momen spesial bagi umat Islam di seluruh dunia. Dalam momen ini, dua hal pokok selalu menonjol: ibadah haji dan pelaksanaan kurban. Jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima, sementara yang lain melaksanakan kurban sebagai bentuk solidaritas kepada kaum fakir, miskin, kerabat, dan tetangga dengan berbagi daging hewan sembelihan.
Pada bulan ini, kaum Muslimin yang menunaikan ibadah haji, sebagai tamu Allah SWT, telah melaksanakan wuquf di ‘Arafah dan sedang berada di Mina untuk melaksanakan Jumratul ‘Aqabah. Mereka datang dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang bangsa, ras, warna kulit, budaya, dan strata sosial yang berbeda, namun bersatu dalam tujuan yang sama: memenuhi panggilan Allah SWT untuk bertauhid dan mengesakan-Nya.
Bagi yang belum memiliki kesempatan untuk menjadi tamu Allah SWT, mereka melaksanakan shalat Idul Adha dan ibadah kurban di tempat masing-masing. Ibadah kurban ini adalah bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah SWT, serta menggambarkan interelasi kuat antara mereka yang menunaikan ibadah haji dengan saudara-saudaranya yang tidak pergi ke Baitullah.
Namun, seringkali kita hanya mengingat ajaran Nabi Ibrahim menjelang Idul Adha, padahal esensi ajaran beliau, terutama tentang berkurban, memiliki makna yang luas dan bisa diterapkan dalam jangka waktu tak terbatas. Kisah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail, adalah puncak pengorbanan yang menunjukkan betapa kecintaan kepada Allah mengalahkan segala-galanya.
Nabi Ibrahim lulus dari ujian berat itu, dan perintah penyembelihan Ismail digantikan dengan domba besar. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tak ada harta paling sejati dibanding ketundukan total kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS at-Taghabun: 15). Kurban, berasal dari kata qurbân, artinya “pendekatan diri,” yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan mengorbankan sebagian harta untuk dibagikan kepada sesama.
Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa kekayaan duniawi bukanlah segalanya. Ada kehidupan yang lebih hakiki dan perlu diperjuangkan, yaitu kehidupan akhirat. Mengorbankan sebagian harta lillâhi ta‘âlâ tidak akan merugikan. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, yang patuh dan saleh. Pengorbanan adalah cara pandang manusia yang jauh ke depan menuju kebahagiaan abadi di akhirat.
Namun, kita seringkali hanya berkorban dalam hal-hal kecil. Untuk membeli hewan kurban saja, kadang kita mencari harga termurah, jika perlu membelinya jauh sebelumnya. Kita memilih uang paling kecil ketika kotak amal lewat. Kita sering tidak sudi berkorban sedikit tempat di kendaraan umum, atau tenaga untuk membantu orang lain. Di mana semangat kurban yang seharusnya mewujud dalam kehidupan sehari-hari?
Karena mendapat sedikit pengetahuan agama, kita kadang tidak mau mendengarkan pendapat kelompok lain. Karena memiliki sedikit kedudukan, kita ogah mendengarkan aspirasi orang lain. Padahal, semangat kurban yang diajarkan Nabi Ibrahim seharusnya mengajarkan kita untuk lebih rendah hati, berempati, dan selalu siap berkorban demi kepentingan bersama.
Dalam hemat Penulis Menghidupkan esensi kurban dalam kehidupan sehari-hari berarti meneladani Nabi Ibrahim dan keluarganya, tidak hanya saat Idul Adha, tetapi setiap saat. Dengan begitu, kita dapat membangun masyarakat yang lebih peduli, adil, dan penuh kasih sayang, sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin semoga. ***
_Sarwan Kelana, Ketua ICMI Muda Pekanbaru & Guru PAI SMK Masmur Pekanbaru_